-->


Sekilas "The Siswanto Institute" "The Siswanto Institute" ini sebagai tempat kajian, curah rasa dan pemikiran, wahana urun rembug dan berbagi praktik baik. Memuat isue strategis aktual dan faktual, baik lingkup nasional, regional, maupun global. Berhubungan dengan dunia Pendidikan, Politik, Agama, Sains dan Teknologi, Pembelajaran, Bisnis-Kewirausahaan, Opini, Merdeka Belajar dan pernak-perniknya. Pembahasan dan informasi terutama dalam Pendidikan Vokasi-SMK dan contain lainnya. Selamat berbagi dan menikmati sajian kami. Menerima masukan, kritik, sumbangsih tulisan artikel dan pemikiran, semoga bermanfaat.

"Kapan harus Bicara dan Kapan Harus Diam"

- August 20, 2025
advertise here
advertise here

 "Kapan harus Bicara dan Kapan Harus Diam"

Oleh : Dr. Bahrodin

Kamu pasti pernah mengalami situasi ini. Di tengah meeting, ada rekan yang memotong pembicaraan orang lain hanya untuk memasang ide mereka. Atau di lingkaran pertemanan, ada yang selalu saja ingin didengar tanpa pernah memberi ruang untuk cerita orang lain. Rasanya ingin sekali menggelengkan kepala, bukan?

Nah, agar kita tidak menjadi seperti itu, yuk kita eksplorasi seni yang seimbang ini.

Saatnya Mengangkat Suara: Kapan Bicara Itu Penting

Pertama, ketika kamu melihat adanya ketidakadilan atau kesalahan yang bisa berakibat fatal. Bayangkan kamu dalam sebuah proyek kelompok dan seseorang melewatkan detail kritis yang bisa menggagalkan semuanya. Diam dalam situasi ini bukanlah kerendahan hati, tapi kelalaian. Suaramu bisa menjadi penyelamat.

Kedua, ketika kamu diminta secara khusus untuk pendapat atau keahlianmu. Ini adalah undangan untuk berkontribusi. Menolak untuk berbicara justru bisa dianggap tidak peduli atau tidak siap. Orang menghargai ketika kamu membagikan pengetahuan yang mereka minta.

Ketiga, ketika kamu merasakan sesuatu yang kuat dan otentik. Perasaan dan intuisi itu nyata. Jika sesuatu terasa sangat tidak right atau sangat right, kemungkinan besar itu benar. Berbagi perasaan dengan kata-kata yang jujur, seperti "Aku merasa agak tidak nyaman dengan keputusan ini, bisakah kita bahas alternatifnya?" bisa membuka percakapan yang lebih dalam.

Keempat, untuk membangun hubungan. Sebuah percakapan membutuhkan umpan balik dari kedua belah pihak. Berbagi cerita pribadi, pertanyaan yang thoughtful, atau bahkan lelucon yang tepat waktu adalah lem yang menyatukan hubungan profesional maupun personal.

Kekuatan Diam yang Bersuara: Kapan Mendengarkan adalah Superpower

Di sisi lain, ada momen di mana telinga lebih berharga daripada mulut.

Pertama, ketika orang lain sedang berada dalam tekanan emosional yang kuat. Sedih, marah, frustasi. Dalam keadaan seperti ini, yang mereka butuhkan seringkali bukan solusi instan, tapi ruang aman untuk meluapkan perasaan. Sebuah telinga yang empatik jauh lebih menenangkan daripada nasihat yang paling brilliant sekalipun. Biarkan mereka mengosongkan gelasnya sebelum kamu menuangkan airmu.

Kedua, ketika kamu sedang dalam posisi tidak tahu. Dunia kita mengagungkan orang yang selalu punya jawaban. Tapi sebenarnya, kekuatan terbesar justru ada pada orang yang berani mengatakan "Saya tidak mengerti, bisakah kamu jelaskan?" atau "Saya belum punya pendapat tentang ini, saya perlu mendengar lebih dulu." Ini menunjukkan rasa percaya diri dan intelektual yang jujur.

Ketiga, untuk benar-benar memahami, bukan hanya sekadar membalas. Banyak dari kita saat diajak bicara, bukannya mendengar, malah sibuk menyusun respons di kepala. Cobalah untuk benar-benar menyerap apa yang dikatakan lawan bicara. Dengarkan bukan hanya katanya, tapi juga nada, emosi, dan yang tidak terucap. Pemahaman yang mendalam selalu lahir dari kesabaran mendengarkan.

Keempat, dalam konflik yang memanas. Saat emosi memuncak, menambahkan bahan bakar ke api dengan argumen hanya akan memperbesar kobaran. Diam sejenak, tarik napas, dan dengarkan akar masalah dari keluhan orang lain. Seringkali, konflik terjadi bukan karena apa yang diperdebatkan, tapi karena perasaan tidak didengar.

Tanda-Tanda yang Harus Diperhatikan

Lalu, bagaimana caranya tahu kapan waktunya? Tubuh dan intuisi biasanya memberikan sinyal.

Jika kamu merasa gelisah, ingin segera memotong pembicaraan, atau pikiranmu dipenuhi oleh apa yang ingin kamu katakan selanjutnya, itu adalah tanda merah besar. Itu artinya kamu sedang tidak mendengarkan. Berhenti. Fokus kembali.

Sebaliknya, jika kamu merasa ragu, takut, atau berpikir "ah, pendapatku tidak penting", tanyakan pada diri sendiri: apakah ini kerendahan hati yang tulus atau ketakutan? Jika itu adalah ketakutan, cobalah untuk mengumpulkan keberanian dan berbicara. Suaramu mungkin adalah perspektif yang hilang dan sangat dibutuhkan.

Pada akhirnya, ini semua adalah tentang keseimbangan. Menjadi orang yang hanya mendengarkan bisa membuat kita terlihat tidak memiliki pendirian. Menjadi orang yang selalu berbicara membuat kita dianggap arogan.

Yang kita butuhkan adalah menjadi orang yang mindful. Sadar akan ruang, konteks, dan kebutuhan orang lain. Terkadang, kontribusi terbesar kita adalah kata-kata yang tajam dan tepat sasaran. Di waktu lain, kontribusi terbesarmu justru adalah keheninganmu yang memberikan ruang bagi orang lain untuk tumbuh.

Di dunia yang terlalu banyak bicara, jadilah orang yang dikenal karena kualitas mendengarkanmu. Dan di saat yang tepat, biarkan kata-katamu menjadi yang terakhir karena dampaknya, bukan karena kekerasaannya.#ES

Direfensi dari Media Sosial

Advertisement advertise here

Promo Buku

Promo Buku
Bunga Rampai Pemikiran Pendidikan

Supervisi Pendidikan

Pengembangan Kebijakan Pendidikan

Logo TSI

Logo TSI
Logo The Siswanto Institue
 

Start typing and press Enter to search