-->


Sekilas "The Siswanto Institute" "The Siswanto Institute" ini sebagai tempat kajian, curah rasa dan pemikiran, wahana urun rembug dan berbagi praktik baik. Memuat isue strategis aktual dan faktual, baik lingkup nasional, regional, maupun global. Berhubungan dengan dunia Pendidikan, Politik, Agama, Sains dan Teknologi, Pembelajaran, Bisnis-Kewirausahaan, Opini, Merdeka Belajar dan pernak-perniknya. Pembahasan dan informasi terutama dalam Pendidikan Vokasi-SMK dan contain lainnya. Selamat berbagi dan menikmati sajian kami. Menerima masukan, kritik, sumbangsih tulisan artikel dan pemikiran, semoga bermanfaat.

Membangun Birokrasi Pelayanan Pendidikan, Suatu Pendekatan Layanan Prima Berbasis IT

- April 21, 2020
advertise here
advertise here



Membangun Birokrasi Pelayanan Pendidikan
Suatu Pendekatan Layanan Prima Berbasis IT

edy siswanto


Pendahuluan
Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan telah mengalami perubahan, masalah yang ditemui adalah sentralisasi yang berlebihan, ketidakluwesan, komunikasi informasi yang tidak akurat serta tidak efisien.  Melalui Pemerintah Daerah diharapkan pemerintah mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomis yang wajar, efisien dan efektif. Dalam hal ini termasuk didalamnya kemampuan perangkat daerah dalam meningkatkan kinerjanya, mempertanggungjawabkannya kepada pemerintah atasanya maupun masyarakat.

Hal ini sejalan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan masyarakat saat ini, disamping adanya pengaruh globalisasi, informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Untuk itu aparatur pemerintah harus dapat mengimbangi tuntutan masyarakat, dengan memantapkan kepribadian dan semangat pengabdian dalam menunjukan kinerjanya.

Dalam mewujudkan hal tersebut, kita memerlukan aparatur yang profesional, memiliki kualitas dan integritas kepribadian yang mengacu pada moralitas yang luhur. Aparatur yang profesional berarti tingkat keahlian dan keterampilannya cukup memadai, yaitu memiliki etos kerja dan disiplin kerja yang tinggi, sehingga pada akhirnya bermuara pada peningkatan kinerja pegawai yang optimal dan mampu memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, yaitu terciptanya pemerintahan yang baik, bersih, jujur dan berwibawa atau good govemance dan clean govemment.
Demikian juga disetiap daerah, Peraturan Daerah (Perda), Satuan Organisasi Tata Kerja (SOTK), senantiasa dinamis mengikuti perkembangan zaman. Nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) senantiasa berubah sesuai tuntutan keadaan. Apabila tidak dimbangi dengan kesiapan, perubahan demi perubahan tentunya akan menimbulkan permasalahan baik dari dalam tubuh organisasi itu sendiri maupun pada lingkungan kerja organisasi.

Sebuah perubahan akan membawa dampak dimana seseorang memerlukan adaptasi dan konsolidasi yang cukup memakan waktu, sebagai contoh misalnya adaptasi dengan teman kerja dan adaptasi terhadap pimpinan organisasinya. Dengan perubahan-perubahan seperti itulah maka akan membawa dampak yang negatif bagi seorang pegawai, sehingga seorang pegawai cenderung akan melemah dalam melakukan pekerjaannya, menurunnya motivasi dan cenderung tidak merasa puas, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam kinerja pegawai.

Banyak para pejabat khusunya birokrasi yang menangai pendidikan saling was-was apakah bakal menempati jabatan strategis atau tidak dan siapa yang akan terlempar jelas semua itu akan berimplikasi dikalangan pegawai yang pada gilirannya bisa berdampak pada kurang optimalnya kinerja pegawai. kinerjanya dapat berpengaruh terhadap berhasil dan tidaknya urusan pemerintah dan masyarakat, sehingga berakibat meningkatnya kualitas dan kuantitas serta kompleksitas permasalahan. Hal inilah yang akan menjadikan motivasi pegawai turun, persaingan antar pejabat yang kurang baik juga hubungan efektif yang seharusnya terbina antar institusi/kelembagaan menjadi kurang baik, karena adanya ego masing-masing lembaga/institusi. Juga karena faktor kejenuhan bisa disebabkan karena : rutinitas pekerjaan (karena tidak ada rotasi pegawai), lingkungan kerja yang membosankan. Sistem kepemimpinan yang kurang terbuka dan tidak adil, kurang adanya penghargaan dari pimpinan, tidak adanya peningkatan karir. Kurangnya kesejahteraan bagi pegawai

Permasalahan mengenai kinerja adalah permasalahan yang akan selalu dihadapi oleh pihak-pihak manajemen organisasi, karena itu manajemen perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja pegawai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai akan membuat manajemen organisasi dapat mengambil berbagai kebijakan yang diperlukan sehingga dapat meningkatkan kinerja pegawai agar sesuai dengan harapan organisasi.

Kinerja merupakan fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O), artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robins, 1996). Dengan demikian kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.

Menurut Donelly dalam Rivai (2005), kinerja pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor kemampuan, keinginan dan lingkungan. Permasalahan kinerja pegawai dibatasi pada kerajinan dalam melaksanakan tugas, ketercapaian dalam menjalankan tugas, keakuratan dalam melaksanakan tugas, loyalitas dalam mengemban tugas, penuh inisiatif dan kemampuan dalam bekerjasama antar pegawai.
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan uatama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain (BPKP, 2000).

Tim Studi Pengembangan Sistem Akutabilitas Kinerja Instansi pemerintah, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2000) mengemukakan pengertian Kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan startegis (strategic planing) suatu organisasi.

Kinerja menurut Rivai (2005), adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentutkan lebih dahulu dan telah disepakati bersama. Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari performance. Berasal dari kata “to perform” dengan beberapa entries yaitu (1). Melakukan, menjalankan, melaksanakan, (2). Memenuhi atau melaksanakan kewajiban atau niat atau nazar. (3). Melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab dan (4). Melakukan sesuatu yang diaharapkan oleh seseorang atau mesin.

Dari beberapa definisi tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi atau pegawai dalam periode tertentu, yaitu prestasi berkaitan efektivitas operasional organisasi, baik dari segi efesiensi keuangan maupun manajemen.

Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A x M x O). Artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan  kesempatan, (Robbin, 1996). Dengan demikian kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalikan karyawan. Meskipun individu bersedia dan mampu, bisa menjadi penghambat, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1.


Gb 1

 

Donelly (Rivai ; 2005), menyatakan bahwa kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu harapan mengenai imbalan, dorongan, persepsi kepada tugas, imbalan internal dan eksternal, persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu kemampuan, keinginan dan  lingkungan. Oleh karena itu agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mempengaruhi pekerjaannya. Tanpa ketiga faktor ini  kinerja yang baik tidak akan tercapai. Dengan demikian, kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian antara pekerjaan dan kemampuan.

Seorang pegawai tidak akan mampu bekerja dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan. Meskipun pekerjaan tersebut dapat selesai dikerjakan namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu dalam peningkatan kinerja seorang karyawan, kemampuan bidang tugas pekerja yang bersangkutan sangat penting.

Mursi (1998), dalam pandangan islam, menyerahkan urusan kepada orang yang tidak menguasai, maka tunggulah kehancurannya.

II. Kecerdasan Emosial dan Peningkatan Kinerja

Dalam kehidupan ini kita sering beranggapan bahwa yang sangat penting dan menentukan dalam berbagai hal adalah kecerdasan otak, sedangkan kemampuan lain menjadi kurang penting. Setelah belakangan ini muncul istilah kecerdasan emosional atau emotional intellegence yang diungkap oleh Daniel Goleman yang mengutip berbagai penelitian ternyata menemukan bahwa kecerdasan emosional mempunyai peran sangat penting untuk meraih kesuksesan. Keberhasilan seseorang ditentukan hanya 20% dari IQ dan selebihnya ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ/Emotional Quotient). EQ dan IQ dapat membuat perbedaan dalam meraih keberhasilan. EQ artinya menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan produktif dan meraih keberhasilan.

Emosional merupakan salah satu ciri yang dimiliki manusia, tanpa emosi seseorang akan menjadi seperti robot yang hanya mengandalkan logika saja, terutama dalam fungsinya sebagai mahluk sosial yang selalu berhubungan dengan orang lain, emosi sangat berperan penting. Dengan emosi hubungan manusia akan lebih bervariasi atau tidak monoton. Mengingat hal itu pengelolaan emosi menjadi sangat penting untuk menuju kercerdasan emosi. Seorang yang mempunyai kecerdasan pikiran dan kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih mampu bersaing dan bekerjasama dibandingkan dengan seseorang yang hanya mempunyai kecerdasan  pikiran saja. Keberhasilan sumber daya manusia tidak bisa terlepas dari perilaku individu yang perlu dikelola untuk meningkatkan kinerja pegawai adalah kecerdasan emosional.
Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai kemampuan untuk mengelola perasaannya antara lain dapat memotivasi dirinya sendiri dan orang lain, tegar menghadapi frustasi, sanggup mengatasi dorongan-dorongan primitif dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang aktif dan mampu berempati dan mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain.

Kemampuan menurut Goleman (1999), adalah kemampuan menguasai dan mengelola diri sendiri serta kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kemampuan tersebut disebut dengan kecerdasan emosi/Emotional Quotient (EQ), dan melalui penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosi menyumbang 80% dari faktor penentu kesuksesan seseorang, 20% yang lain ditentukan oleh Intelligence Quotient (IQ).

Mengingat pentingnya tuntutan kinerja pegawai di instansi pemerintah, motivasi kerja juga menjadi perhatian bagi pengelola organisasi. Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1996), motivasi merupakan keadaan pribadi dalam seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut Asep dan Tanjung (2003), manfaat motivasi adalah menciptakan gairah kerja, sehingga kinerja meningkat.

Menurut Irmin (2005), motivasi kerja adalah salah satu faktor penting dari prestasi seseorang, selain motivasi kerja faktor penting lainnya adalah potensi atau kemampuan seseorang. Tetapi motivasi lebih penting daripada potensi. Potensi relatif lebih konstan, bahkan cenderung bertambah keberadaannya.
III. Pentingnya Motivasi Kerja
Kata motivasi sering digunakan dalam berbagai cara, karena erat kaitannya dengan proses psikologis di dalam diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri orang yang bersangkutan. Oleh karenanya banyak para ahli yang mencoba memberikan batasan pengertian motivasi sesuai dengan pendekatan teoritis yang digunakan.

Robbin (1996), mengemukakan motivasi merupakan kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kearah tujuan organisasi, yang dikoordinasikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individu.

Menurut Mursi (1998), motivasi adalah keadaan internal individu yang melahirkan kekuatan, kegairahan dan dinamika, serta mengarahkan tingkah laku pada tujuan. Dalam pengertian lain motivasi merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjuk sejumlah dorongan, keinginan, kebutuhan dan kekuatan.
Menurut pandangan Mc. Clellend (Robbin ; 1996), bahwa ada tiga karakteristik kebutuhan manusia yang dianggap memiliki motivasi untuk berprestasi yaitu :
1. Kebutuhan berprestasi (need of achievement) yaitu dorongan untuk menggungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat dan sukses.
2. Kebutuhan afiliasi (need of  affiliattion) yaitu hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan karib.
3. Kebutuhan kekuasaan (need of power) kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku (tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian).

Atkinson dan Stoner (1992), mengaitkan perilaku dan prestasi dengan tiga dorongan dasar yang sangat berbeda diantara setiap orang :
1.   Kebutuhan pencapaian (need of achievement)
2.   Kebutuhan akan kekuasasn (need of power)
3.   Kebutuhan akan afiliasi (need of affiliation)
Hasil penelitian Maslow dalam Mursi (1998), menemukan kebutuhan primer manusia adalah :
1.    Kebutuhan fisiologis
2.    Kebutuhan terhadap rasa aman dan keselamatan
3.    Kebutuhan terhadap afiliasi, cinta dan kegiatan sosial
4.    Kebutuhan terhadap pengakuan, penghargaan dan kedudukan
5.    Kebutuhan terhadap aktualiasasi diri

Berdasarkan konsep-konsep yang dijabarkan oleh Atkinson dan Stoner (1992), David Mc (Robin ; 1996), Maslow dan Mursi (1998), di atas maka penulis mengambil  indikator-indikator variabel motivasi seperti yang dikemukakan oleh David Mc (Robin ; 1996), sebagai berikut : (1). Kebutuhan berprestasi. (2). Kebutuhan afiliasi. (3). Kebutuhan kekuasaan.

III.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja
Mengingat motivasi kerja pegawai berupa kondisi kejiwaan, sehingga timbulnya motivasi tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagai suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seorang pegawai. Secara umum faktor-faktor yang dapat menimbulkan motivasi kerja pegawai menurut Wahjosumijo (2000 : 174) terdiri dari dua faktor sebagai berikut :
1. Faktor di dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsik. Faktor intrinsik ini dapat berupa kepribadian, sikap, pengalaman, dan pendidikan, atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke masa depan;
2. Faktor di luar diri seseorang yang disebut ekstrinsik. Faktor ini dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber, bisa karena pengaruh pimpinan, kolega, atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks.
   Pendapat di atas menjelaskan bahwa timbulnya motivasi kerja pada diri seorang pegawai disebabkan karena adanya rangsangan, baik rangsangan yang datang dari dalam diri pegawai yang bersangkutan maupun rangsangan yangdatang dari luar seperti pengaruh dari dorongan teman sejawat, ataupun dorongan dan arahan dari pimpinanya, atau dapat pula datang dari kondisi lingkungan kerja pegawai.

Kriteria pengukuran terhadap motivasi kerja pegawai menurut Kerlinger (1995 : 160) sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
Memandang kekuatan motivasi dalam bentuk persamaan; motivasi = fungsi (motive + expectation + incentive) atau M = f (M+E+I). Sedangkan kekuatan dari motivasi untuk melakukan beberapa kegiatan adalah fungsi dari;
kekuatan yang menjadi alasan bergerak adalah suatu keadaan dimana di dalam diri setiap orang, tingkatan alasan atau motif-motif yang menggerakkan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu kepentingan.

Sesuai pendapat di atas menujukkan bahwa pengukuran terhadap motivasi kerja pegawai dapat dilakukan dengan menggunakan tiga kriteria, yaitu : motif, pengharapan, dan insentif. Dari masing-masing kriteria tersebut mampu menggerakkan kehendak seorang pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan hingga tercapainya tujuan pekerjaan tersebut.

Dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang biasanya dinamakan motif, sebagaimana dijelaskan oleh Kerlinger (1995 : 162) sebagai berikut :
Motive (motif) adalah suatu dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan atau setidaknya adalah suatu kecenderungan menyumbangkan perbuatan/tingkah laku tertentu. Dorongan untuk melakukan suatu perbuatan/tingkah laku tertentu tersebut dapat datang dari luar ataupun merupakan hasil dari suatu proses pemikiran daari dalam diri seseorang.

Pengertian di atas menjelaskan bahwa motif merupakan dorongan yang datang dari dalam diri seseorang untuk melakukan suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan tertentu. Datangnya dorongan tersebut juga dapat berasal dari luar, dalam arti dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di luar orang yang bersangkutan.

Pengharapan (expectation) dapat diartikan sebagai “Kemungkinan bahwa dengan perbuatan akan mencapai tujuan” (Kerlinger, 1995 : 166), atau ada juga pendpat lain yang menyatakan sebagai berikut :
Individu dipengaruhi kelakuannya oleh dua sumber yang besar, yaitu; sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan peranannya antara lain tuntutan formal daari pihak pimpinan yang terperinci dalam tugas yang seharusnya dilakukan. Dan tuntutan informal yang dituntut oleh kelompok-kelompok yang ditemui dalam lingkungan kerja. Jadi ada daya-daya harapan secara formal dan informal yang kedua-duanya menuntut kelakuan tertentu daari individu. Sebagai akibat dari tuntutan ini individu berusaha untuk menyusun suatu struktur dalam situasi sosial yang dihadapinya dan untuk mendefinisikan peranannya dalam struktur tersebut.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa sumber harapan mempengaruhi individu ada dua macam, yaitu tuntutan formal dan tuntutan informal. Tuntutan formal berasal dari pimpinan yang terperinci dalam bentuk tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh pegawai. Dalam tuntutan formal ini dirumuskan hubungan yang harus dilakukan di antara pegawai yang satu dengan yang lainnya, serta ditentukan pula siapa yang harus memberikan laporan kerja dan kepada siapa saluran wewenang resmi harus disampaikan. Sedangkan tuntutan informal memiliki fungsi memberikan kepada pegawai suatu perasaan aman, persamaan hak dan kerjasama yang efektif.

Sementara itu pengertian incentive (insentif) menurut Kerlinger (1995 : 169) merupakan “Perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan mengarah langsung pada satu tujuan yang lebih daripada yang lain”, atau dapat pula diartikan sebagai “Keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis manusia, atau persiapan-persiapan daripada keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat mempengaruhi atau merubah sikap/tingkah laku manusia.”

Pendapat di atas menjelaskan bahwa insentif adalah suatu perangsang yang sengaja diberikan kepada para pegawai dengan tujuan agar turut serta dalam membangun, memelihara, dan memperkuat harapan-harapan pegawai, sehingga di dalam dirinya timbul semangat yang lebih besar untuk berprestasi dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

Dengan demikian motivasi kerja pegawai merupakan dorongan dalam diri seorang pegawai yang menimbulkan semangat untuk melaksanakan pekerjaan secara lebih giat, sehingga produktivitas daan efektifitas kerjanya cenderung meningkat. Timbulnya motivasi kerja pegawai dapat dipengaruhi oleh adanya rangsangan, baik yang datang dari dalam diri pegawai sendiri (faktor intrinsik/faktor intern) maupun berasal dari pengaruh luar pegawai (faktor ekstrinsik/faktor ekstern). Adapun kriteria yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur motivasi kerja pegawai dapat berupa motif, pengharapan, dan insentif, yang masing-masing berfungsi menggerakkan kehendak seseorang pegawai untuk melaksanakan suatu pekerjaan sesuai tujuannya. Oleh karena ada motivasi kerja yang meningkat daalam diri seorang pegawai, cenderung dapat meningkatkan prestasi kerja, produktivitas kerja, serta efektifitas kerja pegawai yang bersangkutan, sehingga berpengaruh pula terhadap meningkatnya kinerja pegawai dalam menyelesaikan tugas pekerjaan yang menjadi tanggungjawab.
 bersambung....
Advertisement advertise here

1 comments:

avatar

Oke..joss gandhoss..Bos..

Promo Buku

Promo Buku
Bunga Rampai Pemikiran Pendidikan

Supervisi Pendidikan

Pengembangan Kebijakan Pendidikan

Logo TSI

Logo TSI
Logo The Siswanto Institue
 

Start typing and press Enter to search