Cara Menegur Tanpa Merendahkan
Oleh : Dr. Bahrodin
Teguran adalah seni yang tidak semua orang bisa lakukan dengan benar. Banyak yang menegur, tapi sedikit xx yang bisa melakukannya tanpa merendahkan. Tegurannya orang beradab bukan untuk mempermalukan, melainkan untuk menyadarkan. Ia bukan datang dari emosi, tapi dari kepedulian. Ia tidak menampar dengan kata-kata, melainkan menuntun dengan kebijaksanaan. Teguran yang beradab adalah cermin dari kedewasaan, tempat di mana kejujuran dan empati bertemu dalam satu nada yang lembut namun bermakna.Dalam kehidupan sosial, teguran adalah salah satu bentuk cinta yang paling jujur. Orang yang benar-benar peduli padamu tidak akan membiarkanmu terus berjalan ke arah yang salah. Namun sayangnya, banyak orang kini takut menegur atau tersinggung saat ditegur. Padahal, di situlah letak ujian peradaban: bagaimana cara kita menegur dan bagaimana cara kita menerima teguran. Dua-duanya menunjukkan tingkat kematangan hati dan pikiran seseorang.
1. Orang beradab menegur karena ingin memperbaiki, bukan mempermalukan.
Teguran sejati lahir dari niat yang bersih. Orang beradab tahu bahwa tujuan utama dari menegur adalah membawa seseorang kembali ke jalur yang benar, bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih tinggi. Mereka menegur dengan hati, dengan bahasa yang terukur, dan waktu yang tepat. Teguran seperti ini terasa menyejukkan karena datang dari kasih, bukan dari amarah.
Sebaliknya, teguran yang dilandasi ego justru bisa melukai. Saat teguran dijadikan alat untuk merendahkan, ia kehilangan makna mulianya. Orang yang beradab tidak mencari kemenangan dalam perdebatan; mereka mencari perbaikan dalam diri dan orang lain. Karena bagi mereka, kehormatan seseorang tetap harus dijaga bahkan saat ia sedang salah.
2. Orang beradab menegur di tempat yang benar, bukan di depan khalayak.
Salah satu tanda kedewasaan dalam menegur adalah tahu kapan dan di mana waktu yang tepat. Orang beradab tidak akan menegur seseorang di depan umum karena tahu rasa malu bisa mematikan semangat belajar seseorang. Mereka memilih tempat yang tenang, suasana yang kondusif, agar teguran menjadi ruang refleksi, bukan luka batin.
Sayangnya, di era media sosial, banyak yang menegur demi sorotan publik. Teguran berubah menjadi tontonan, bukan lagi bentuk kepedulian. Orang beradab tidak mencari panggung dari kesalahan orang lain. Mereka tahu, kehormatan manusia terlalu berharga untuk dijadikan konten. Teguran sejati tidak butuh penonton — cukup dua hati yang sama-sama ingin menjadi lebih baik.
3. Orang beradab menegur dengan logika yang jernih, bukan dengan emosi yang meledak.
Sebelum menegur, orang beradab berpikir. Mereka memahami duduk perkara, mencari tahu sebab, dan memilih kata dengan hati-hati. Karena mereka sadar, satu kalimat bisa menyelamatkan seseorang — tapi kalimat yang salah bisa menghancurkan harga diri. Tegurannya tegas, tapi tidak keras; tajam, tapi tidak menyakitkan.
Sebaliknya, teguran yang lahir dari emosi sering kali justru memperburuk keadaan. Saat marah, orang cenderung menuduh daripada menasihati, menyerang daripada menuntun. Orang beradab tahu bahwa logika yang tenang jauh lebih efektif daripada kata-kata penuh amarah. Mereka paham, ketegasan tidak harus dibarengi dengan teriakan.
4. Orang beradab menegur dengan empati, bukan dengan penghakiman.
Empati adalah fondasi dari teguran yang baik. Orang beradab menegur sambil memahami bahwa setiap orang punya latar belakang, tekanan, dan kesulitan yang mungkin tidak terlihat. Teguran mereka bukan sekadar “kamu salah,” tapi “aku paham, dan aku ingin kamu jadi lebih baik.” Di sanalah letak keindahannya: ada kasih di balik kritik, ada doa di balik nasihat.
Orang yang hanya tahu menghakimi mudah menemukan kesalahan orang lain, tapi orang yang beradab mencari cara agar kesalahan itu bisa diperbaiki. Mereka tahu, setiap orang sedang berproses, dan proses itu tidak selalu lurus. Teguran yang berempati menjadi jembatan menuju perubahan, bukan jurang yang memperlebar jarak.
5. Orang beradab juga tahu kapan harus menegur diri sendiri.
Teguran yang paling sulit adalah teguran kepada diri sendiri. Namun orang beradab tidak hanya pandai mengingatkan orang lain — mereka juga berani bercermin. Mereka menyadari bahwa setiap kata yang keluar harus bisa mereka pertanggungjawabkan dengan sikap dan teladan. Teguran yang paling efektif adalah yang disampaikan lewat contoh, bukan hanya lewat ucapan.
Mereka tidak sombong dalam kebenaran, dan tidak alergi terhadap kritik. Karena bagi orang beradab, menjadi benar tidak cukup — mereka ingin juga tetap bijak. Mereka menegur diri sendiri setiap kali merasa tinggi, sombong, atau lalai. Dan dari situlah muncul kewibawaan yang tidak bisa dibeli: kewibawaan yang lahir dari ketulusan hati.
Tegurannya orang beradab adalah cahaya di tengah gelapnya ego manusia. Ia mengingatkan tanpa merendahkan, menguatkan tanpa menyakiti, dan menuntun tanpa menuntut balasan. Dunia butuh lebih banyak orang seperti ini — yang menegur bukan untuk membuktikan dirinya benar, tapi agar dunia menjadi sedikit lebih baik.
Karena sejatinya, peradaban tidak diukur dari seberapa tinggi pendidikan atau jabatan seseorang, melainkan dari cara ia memperlakukan sesama, bahkan saat yang lain berbuat salah. Teguran yang beradab bukan hanya menyelamatkan satu orang, tapi menjaga kemanusiaan kita semua agar tetap hidup dalam hormat dan kasih.#ES
Direfensi dari Media Sosial
