Dilema Guru Setelah tak Jadi KS, "Menjadi Guru Biasa Lagi Saat Usia Pensiun Masih Panjang?"
Tulisan ini bukan ingin, dan akan memprovokasi "memburu jabatan" bukan. Semata mendudukan porsi sebenarnya bagaimana hal ini bisa menjadi bahan perbincangan bersama, dan bukan lagi "tabu".
Seperti dalam aturan yang lama, regenerasi dan pergantian jabatan Kepala Sekolah (KS) sebaiknya tidak terlalu lama sampai 4 periode atau 16 (enam belas tahun). Bahkan ada yang sampai 20 tahun tak tergantikan misalnya. Apalagi jika tak ada penggantinya bisa selamanya tergantung daerah. Seolah tak ada yang lain, yang bisa menggantikannya. Ini ironi dan menyedihkan..
Tentu kurang bagus bagi regenerasi ditubuh PNS guru. Pergantian hendaknya tetap memperhatikan "prinsip regenerasi". Jika ada pembatasan maksimal 2 (dua) periode 8 (delapan tahun) sesuai dengan Permendikdasmen No 7 Tahun 2025, bisa saja. Namun tetap berlaku jika tidak baik, bisa diganti kapan saja. Dalam rangka memperkuat struktur organisasi dan menjawab tantangan strategis yang terus berkembang, Prinsip tour of duty, bisa diterapkan. Bahwa rotasi jabatan adalah hal biasa, menjadi bagian penting dari siklus pembinaan PNS dan karier guru.
Bagi yang beprestasi ada promosi jabatan yang lebih tinggi semisal pejabat birokrasi dinas pendidikan dan kebudayaan. Semata untuk memberikan tantangan dan peluang untuk karier guru bisa berkembang lebih bagus lagi.
Pergantian jabatan KS bukan sekadar proses administratif, tapi merupakan strategi pembinaan karier dan penyegaran organisasi untuk meningkatkan efektivitas tugas. Ini juga bentuk kesiapan guru dalam menghadapi dinamika Pendidikan dan pembelajaran yang terus berkembang, dan berubah, sesuai tantangan zaman guru setelah tak jadi KS.
Dengan munculnya Permendikdasmen No 7 Tahun 2025, yang membatasi hanya sampai dua periode. Kemana guru setelah tak jadi KS? Ini pertanyaan menarik namun, sepertinya "tabu dan tak elok" jika diucapkan. Pasalnya seringkali guru "dicekoki" dengan kalimat "nerima ing pandum." "Gak usah neka-neko". Jadilah guru sejati. Guru adalah "panggilan jiwa", guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa". Menjadi guru adalah mulia, yang hanya bisa dilakoni oleh orang yang niat sedari awal menjadi guru. dll.
Jelas hal ini belum banyak diperbincangkan. Bisa karena malu, tidak enak dan sebagainya. Mengapa hal seperti ini masih terkesan "tabu" tak coba untuk diperbincangkan?. "Cukupkah guru hanya menjadi KS, dan menjadi guru lagi sampai pensiun?"
Kiranya perlu ada pertimbangan, mau kemana PNS guru setelah tak jadi KS. Tidak perlu ragu, bingung dan "Post Power Syndrome" pasca tak jadi KS. Sementara satu sisi dari segi usia masih panjang. Tak ayal menjadi guru biasa lagi, adalah pilihan yang tak bisa dielakkan. Hal ini sudah hal biasa terjadi. Karena terdesak belum adanya ruang aturan yang mengakomodasi.
Ya ini hal biasa terjadi, seperti Rektor pada Perguruan Tinggi, setelah tak jadi Rektor ya mengajar kembali seperti biasa di kampus, menjadi dosen biasa. Namun ada yang berbeda, antara mantan Rektor dan mantan KS. Mantan Rektor biasanya disiapkan atau "minimal" bisa menjadi Direktur Pascasarjana atau Direktur di Kementrian. Karena aturannya ada, tak ada larangan dan memang membolehkan. Bisa ikut seleksi jika ada perekrutan umum (lelang terbuka), dan lain sebagainya.
Lain dengan guru, yang tidak atau tak ada pilihan lain kecuali menjadi guru biasa. Perlu diperhatikan kesiapan, setelah lama tak mengajar. Ini yang belum disiapkan setelah lama tak mengajar dikelas. Sebagian bisa muncul semacam "Post Power Syndrome". Kalau jauh hari tak mempersiapkan bahwa jabatan ada masanya dan masanya pasti ada pergantian.
Dengan
dibatasinya periode KS hanya sampai dua peirode (8 tahun), Memunculkan potensi
guru dengan pengalaman matang, diusia masih sangat muda. Jika jadi KS usia 35
tahun, delapan tahun kemudian dia baru usia 43 tahun. Masih tujuh belas tahun lagi masuk usia pensiun. Sebuah usia yang masih
sangat produktif dan sayang, jika kemuadian menjadi guru biasa lagi. Sayang jika dengan kemampuan dan pengalaman sebagai KS tak dimanfaatkan masuk dalam birokrasi Pendidikan misalnya.
Hemat penulis jika relevan bahwa jabatan KS cukup dua periode alias delapan tahun. Hendaknya saat perekrutan memperhatikan masih berapa tahun lagi masuk usia pensiun. Memperhatikan disaat usia selesai jabatan yang tidak terlalu panjang saat mendekati usia pensiun. Misalnya usia syarat menjadi KS minimal 50 tahun sehingga, setelah delapan tahun masih ada sisa dua tahun, kembali menjadi guru biasa lagi. Ini yang perlu diantisipasi bagi pemegang kebijakan KS/PS.
Namun jika minimal usia menjadi KS 35 tahun, hendaknya ada ruang strategis yang mengatur bagaimana pasca jabatan KS ini, setelah tak lagi menjabat diusia pensiun yang masih panjang. Sebagai bentuk kebijakan yang "memartabatkan karier guru".
Masa dinas PNS guru, dimana yang masih panjang, setelah tak jadi KS, hendaknya diberi kesempatan yang sama untuk berkompetisi di jabatan managerial seperti Eselon I dan II, yang selama ini banyak didominas oleh PNS selain guru. Seolah guru "tabu" tak boleh bicara menentukan nasibnya ikut kejenjang jabatan managerial berikutnya.
Mengenai persayaratan pendaftaran jabatan eselon I dan II pun hendaknya tak lagi rigid, namun lebih fleksibel sehingga bisa mengakomodir semua pihak agar bisa ikut berkompetesi tak membedakan satu dengan yang lain.
Untuk internal guru bisa problem dan bisa saja "no problem". Kita tidak bicara internal guru dan lokaling kebijakan. Kita bicara kebijakan makro yang muncul dari peraturan yang belum mengakomodir dan "terkesan membatasi PNS (guru)" dalam politik dan kebijakan pendidikan.
Secara eksternal untuk membenahi carut marut dunia pendidikan, tentu diinginkan idealnya adalah orang yang tahu betul dunia Pendidikan. Yang membenahi masalah sekolah di Indonesia (yang katanya masih ada banyak masalah). Kecuali kalau tidak ada masalah dalam dunia Pendidikan.
Mereka para gurulah yang tahu betul masalah dunia sekolah. Kenapa bukan guru yang membenahinya? Emangnya cukup membenahi masalah kebijakan Pendidikan hanya dengan membenahi pembelajaran di kelas-kelas saja? jika satu dua, kelas dan daerah mungkin bisa saja. Tapi ini se-Indoneisa yang dibutuhkan sebuah kebijakan untuk semua. Bukankah Slogan "Pendidikan Bermutu untuk Semua"?. Berilah kesempatan para guru yang sudah pernah menjabat KS untuk ikut membenahinya, termasuk menjadi birokrat pendidikan.
Bisa kita lihat siapa yang jadi Kadisdikbud Kabupaten atau Provinsi, menjadi direktur atau dirjen di dunia pendidikan? ada satu dua dari guru. Kebanyakan mereka non guru, yang tak punya latar belakang keguruan kuat yang tahu seluk beluk dunia pendidikan. Guru bisa kok jadi birokrat pendidikan. Tinggal dibuat saja aturan tegas misalnya wilayah jabatan tersebut, "hanya bisa dari dan oleh "yang pernah punya pengalaman jadi guru sekian tahun misalnya".
Sudah
saatnya "guru juga bisa jadi Mendikdasmen"- tak hanya dosen saja yang bisa jadi Mendikdasmen dan Menteri lainnya. Jika Dosen bisa jadi Mendiktisaintek, karena dosen memang tempatnya di Perguruan Tinggi. Okelah sudah tepat itu.
Namun Guru apakah tidak bisa jika menjadi Mendikdasmen?" sekalipun itu "mimpi" tak bolehkah bermimpi? Lah kenapa tidak? jika memang mampu dan mumpuni"?. Bahkan guru sekarang tak sedikit yang sudah bergelar doktor. Sebuah gelar tertinggi dalam capaian akademik, yang masih baru 25% dicapai oleh seluruh dosen perguruan tinggi di Indonesia.
Kalau guru pastinya tak akan jadi Mendiktisaintek. Karena guru ada di sekolah dasar dan menengah (Dikdasmen). Namun "kenapa Dosen bisa jadi Mendikdasmen?..padahal dosen ada di Perguruan Tinggi? Guru boro-boro bisa jadi Mendiktisaintek, orang wilayahnya sendiri saja di Kementrian Dikdasmen tidak pernah ada? ini yang perlu diperjuangkan.
Teman saya sebelah berbisik, "Tidak Mungkin Guru Bisa Menyaingi (baca; Mengalahkan) Dosen", itulah kenapa dunia pendidikan persekolahan tak pernah akan dan mau maju. Karena sudah ada pengkotakan sejak awal. Disebut sebagai "guru mahluk kelas dua". Yang kalah dengan Dosen. Sehingga urusan kebijakan guru saja masih diurusi oleh "mahluk non guru". "Guru masih menjadi objek bukan subjek pendidikan", Tak bisa dan sampai sekarang belum pernah bisa dan ada menjadi penentu kebijakan pendidikan".
Ini sesungguhnya jawaban dari pertanyaan sebelah : "Kapan Pendidikan maju?
saat kelas-kelas kita maju, yang diajar guru yang maju. Kapan guru maju?
sesungguhnya guru maju ketika dia sendiri bisa mengatur dirinya dan bukan
diatur orang lain, yang tak tahu kebutuhan guru."
Pertanyaan lain senada yang sering muncul dan patut menjadi renungan : "Guru digaji kecil dituntut memperbaiki karakter dan akhlak siswa, sedangkan artis dan konten kreator dibayar mahal untuk merusak akhlak anak-anak."
Disaat
itulah ketika kita mengharap kelas-kelas maju, tak akan bisa terwujud jika
guru masih terbelenggu dalam politik pendidikan yang belum memerdekakan
dirinya. Sudah saatnya ini menjadi perbincangan umum. Mari opinikan dan
diskusikan..
