-->


Sekilas "The Siswanto Institute" "The Siswanto Institute" ini sebagai tempat kajian, curah rasa dan pemikiran, wahana urun rembug dan berbagi praktik baik. Memuat isue strategis aktual dan faktual, baik lingkup nasional, regional, maupun global. Berhubungan dengan dunia Pendidikan, Politik, Agama, Sains dan Teknologi, Pembelajaran, Bisnis-Kewirausahaan, Opini, Merdeka Belajar dan pernak-perniknya. Pembahasan dan informasi terutama dalam Pendidikan Vokasi-SMK dan contain lainnya. Selamat berbagi dan menikmati sajian kami. Menerima masukan, kritik, sumbangsih tulisan artikel dan pemikiran, semoga bermanfaat.

Pendidikan Harus Membentuk Budi Pekerti, Bukan Hanya Otak

- October 15, 2025
advertise here
advertise here

 
Pendidikan Harus Membentuk Budi Pekerti, Bukan Hanya Otak

Oleh : Dr. Bahrodin

Kita hidup di zaman ketika kecerdasan dianggap segalanya. Anak yang juara kelas dielu-elukan, tapi anak yang jujur dan sopan sering kali diabaikan. Padahal, pendidikan sejati seharusnya tidak hanya mengasah otak, tapi juga membentuk budi. Ironisnya, banyak orang cerdas yang gagal menjadi manusia bijak. Fakta dari World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 70% perusahaan global kini lebih menilai integritas dan empati daripada IQ tinggi saat merekrut pemimpin. Artinya, moralitas dan karakter justru menjadi fondasi kesuksesan sejati di abad ini.

Kita terlalu sibuk mengejar nilai hingga lupa bertanya: nilai untuk apa? Anak-anak dibesarkan dengan target angka, bukan kebijaksanaan. Mereka belajar menghafal teori, tapi tidak belajar memahami manusia. Akibatnya, banyak lulusan berprestasi tapi rapuh, pintar berdebat tapi miskin empati. Padahal, bangsa tidak akan besar oleh otak yang tajam, melainkan oleh hati yang luhur.

1. Pendidikan tanpa budi pekerti hanya melahirkan kecerdasan tanpa arah

Anak bisa hafal rumus matematika, tapi tetap tega menyontek. Ia bisa fasih berbahasa asing, tapi kasar pada temannya. Inilah tanda bahwa pendidikan kehilangan ruhnya. Ketika sekolah hanya menilai dari hasil kognitif, nilai-nilai moral menjadi sampingan yang terlupakan.

Sebenarnya, budi pekerti bukan pelengkap, tapi inti dari pendidikan itu sendiri. Di sinilah pentingnya membangun sistem yang menyeimbangkan ilmu dan moral. Pembahasan seperti ini sering kami ulas lebih dalam di LogikaFilsuf, tentang bagaimana kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanya menghasilkan manusia yang pandai memanipulasi, bukan membangun.

2. Orang tua dan guru adalah dua wajah dari satu cermin moral

Banyak anak kehilangan arah bukan karena tidak diajari, tetapi karena melihat ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan orang dewasa. Guru mengajarkan kejujuran, tapi murid melihatnya curang dalam nilai. Orang tua menasihati sopan santun, tapi marah tanpa kendali di rumah.

Pendidikan karakter tidak bisa berdiri di atas kemunafikan. Anak-anak belajar dari keteladanan. Maka, memperbaiki budi pekerti anak dimulai dari memperbaiki moral para pendidik dan orang tua. Tanpa itu, pendidikan hanya menjadi formalitas yang kehilangan jiwa.

3. Sekolah modern terlalu sibuk mencetak kompetitor, bukan manusia

Persaingan akademik kini sering kali lebih kejam daripada ajang bisnis. Anak-anak sejak kecil ditanamkan mental bahwa mereka harus menang, harus lebih pintar, harus lebih cepat. Dalam sistem seperti ini, empati dianggap kelemahan, kolaborasi dianggap kecurangan.

Padahal, dunia kerja dan kehidupan sosial menuntut kemampuan bekerja sama, memahami orang lain, dan menghargai perbedaan. Pendidikan yang menumbuhkan budi pekerti justru melatih itu semua. Ketika anak belajar menghargai teman yang kalah dalam lomba, ia sedang belajar menjadi pemimpin yang adil di masa depan.

4. Nilai moral adalah fondasi kecerdasan sosial

Anak yang pintar tapi tidak beradab bisa menjadi ancaman bagi masyarakat. Ia bisa menggunakan ilmunya untuk menipu, mengeksploitasi, atau menindas. Karena itu, nilai moral bukan sekadar tambahan, tetapi pagar agar kecerdasan tidak salah arah.

Budi pekerti mengajarkan keseimbangan antara logika dan hati. Anak yang berakal tajam tapi berhati baik akan tahu kapan harus bersaing dan kapan harus menolong. Inilah jenis manusia yang dibutuhkan dunia, bukan sekadar cerdas di atas kertas tapi bijak dalam tindakan.

5. Kurikulum yang menekankan kognisi harus berani direvisi

Kita masih mengukur kecerdasan dari ujian tulis dan peringkat kelas. Padahal, anak yang tidak menonjol secara akademik bisa jadi lebih unggul dalam kecerdasan emosional. Sayangnya, sistem pendidikan jarang memberi ruang bagi nilai-nilai itu.

Sekolah seharusnya menjadi tempat membangun manusia seutuhnya, bukan pabrik nilai. Menanamkan budi pekerti bisa dimulai dari kegiatan sederhana, seperti memberi kesempatan anak memimpin kelompok, berdiskusi tentang moral, atau merefleksikan tindakan sehari-hari.

6. Budi pekerti adalah pelindung dari kemajuan yang membutakan

Kemajuan teknologi membuat manusia semakin pintar, tapi tidak selalu semakin bijak. Banyak orang yang sukses tapi kehilangan rasa kemanusiaan. Budi pekerti menjadi penyeimbang agar kecerdasan tidak berubah menjadi kesombongan.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pendidikan berbasis moral menjadi kebutuhan mendesak. Ia melatih anak untuk berpikir reflektif, menimbang etika sebelum bertindak, dan menghormati sesama manusia. Tanpa itu, pendidikan hanya mencetak generasi yang cepat berpikir tapi dangkal memahami.

7. Tujuan akhir pendidikan adalah kebijaksanaan, bukan kepintaran

Kita harus kembali pada esensi pendidikan sebagaimana dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara: menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Itu artinya, pendidikan bukan hanya tentang tahu, tapi tentang menjadi.

Anak yang berilmu akan dihormati, tapi anak yang berbudi akan dikenang. Itulah perbedaan antara kecerdasan dan kebijaksanaan. Maka, tugas kita bukan mencetak manusia pintar yang dingin, tapi manusia yang cerdas sekaligus berjiwa hangat.

Jadi, apakah pendidikan hari ini masih membentuk budi pekerti, atau hanya sibuk mengasah otak? Bagikan pandanganmu di kolom komentar, dan sebarkan tulisan ini agar lebih banyak orang menyadari bahwa tanpa budi pekerti, pendidikan hanyalah kesombongan yang disamarkan dengan gelar.#ES

Direfensi dari Media Sosial

Advertisement advertise here
This Newest Prev Post

Promo Buku

Promo Buku
Bunga Rampai Pemikiran Pendidikan

Supervisi Pendidikan

Pengembangan Kebijakan Pendidikan

Logo TSI

Logo TSI
Logo The Siswanto Institue
 

Start typing and press Enter to search